Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mewajibkan perusahaan yang melakukan transaksi afiliasi, baik di dalam maupun di luar negeri, untuk menyusun dan menyerahkan Dokumen Penetapan Harga Transfer (transfer pricing/TP) sesuai dengan kebijakan pelaporan yang baru.
Namun, soal penerapannya masih banyak memunculkan tanda tanya dari pelaku usaha. Pasalnya, ada beberapa persoalan di antaranya ketersediaan data pembanding untuk domestik dan Country by Country Reporting (CbCR) untuk perusahaan group yang induknya di luar negeri. Padahal, data pembanding ini paling penting dalam TP Documentation.
Kasubdit Pencegahan dan Penanganan Sengketa Perpajakan International DJP Achmad Amin menjelaskan, data pembanding dalam TP Doc ini bisa menjadi permasalahan khususnya bagi perusahaan yang tidak tahu-menahu pada saat penentuan harga, misalnya, harga ditentukan oleh induk.
“Bila tidak tahu menau, harga ditentukan oleh induk, itulah yang jadi permasalahan karena dari nature-nya saja tidak arms length. Jadi, silakan bebani pihak induk untuk buktikan ini sumbernya dari mana? Jangan diam menerima tanpa mengetahui nature transaksinya,” ujar Amin dalam seminar bertajuk “Penerapan Regulasi Baru Transfer Pricing, Kendala dan Solusinya” di Hotel Gran Melia.
Ia mengatakan bila hal ini sudah terlanjur terjadi, memang harus dicari pembandingnya. “Tetapi apakah harus menggunakan database yang sophisticated? Tidak. Bisa gunakan dari IDX, bisa dilihat dari perusahaan go public,” katanya.
Ia menegaskan bahwa DJP sendiri tidak pernah endorse penggunaan database tertentu. Bahkan, ia mengatakan bahwa DJP sering kali menggunakan Google atau Yahoo untuk mencari pembanding.
Ia melanjutkan, untuk data pembanding lebih baik perusahaan mengambil dari negara yang sama. Pasalnya, berbeda negara menurut Amin, berbeda pula kondisi ekonominya sehingga profitabilitasnya berbeda.
Ia memberi contoh, misalnya sebuah perusahaan di Indonesia bertransaksi dengan afiliasi di Singapura. “Misalnya dia sebagai perusahaan contract manufacturer pakaian yang hanya melakukan pekerjaan sesuai order. Berapa sih harga wajar untuk Singapura? Kalau menggunakan data harga jualnya, barang seperti baju adalah barang unik maka bisa pakai metode berbasis gross profit atau net profit,” katanya
Nantinya, untuk menunjukkan apakah labanya sudah wajar atau belum, maka perusahaan tersebut perlu pembanding. Pembanding itu bisa dari perusahaan sejenis yang ada di Indonesia.
Hal ini bisa dilakukan kecuali misalnya perusahaan induk di Indonesia, menjual produk ke luar negeri melalui anak perusahaan di Singapura. “Dia hanya sebagai trader, maka yang dites bukan laba Indonesia tetapi laba Singapura, berarti pakai pembanding dari Singapura,” ucapnya.
Bila demikian, bisa dihitung oleh pihak Indonesia berapa laba Singapura dengan memakai pembanding. “Misal labanya 1% dari penjualan, ya, diterapkan. Jadi belum tentu data pembanding itu berasal dari induk. Adapun banyak juga perusahaan induk yang asalnya dari Indonesia,” ujarnya.
Pengamat Pajak Yustinus Prastowo bilang, asumsi TP docs adalah ketersediaan data keuangan pembanding.
“Kalau tidak ada, bagaimana penalti mau dikenakan? Apakah fair? Jangan sampai skema penalti tidak applicable di lapangan dan memperbesar potensi dispute yang costly,” kata Yustinus.
Adapun menurutnya jangka waktu 4 bulan setelah berakhirnya tahun buku agak berat untuk TP Doc ini karena laporan keuangan hasil audit belum selesai. “Biasanya belum tersedia data pembanding. Ini akan menyulitkan WP,” katanya.
Asal tahu saja, paket dokumentasi transfer pricing yang dimaksud meliputi dokumen induk (master file); dokumen local (local file); dan Laporan per Negara (Country by Country Report/CBCR). Kewajiban itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 213/2016 yang berlaku efektif pada 30 Desember 2016.
Baca Juga: Penarikan Pajak Netflix hingga Spotify Mampu Dongkrak Penerimaan Negara
Untuk master file dan local file, Amin menegaskan seluruh perusahaan yang melakukan transaksi afiliasi harus membuat dan mempersiapkan keduanya. Terutama untuk perusahaan yang pada tahun pajak sebelumnya memiliki transaksi afiliasi barang berwujud dengan nilai lebih dari Rp 20 miliar atau transaksi lainnya selama tahun sebelumnya, seperti transaksi jasa, pembayaran bunga, dividen, dan pemanfaatan barang tak berwujud lain dengan nilai masing-masing lebih dari Rp 5 miliar.
Achmad Amin menambahkan, perusahaan yang diwajibkan membuat dokumentasi transfer pricing wajib menyediakan local file dan master file paling lambat 4 bulan setelah akhir tahun pajak. namun, keduanya tidak harus dilampirkan bersama dengan SPT.
Wajib pajak hanya diwajibkan untuk menyampaikan ikhtisar dokumen induk dan dokumen lokal sebagai lampiran SPT PPh Badan Tahun Pajak yang bersangkutan dengan format yang telah distandarisasi dalam Lampiran PMK-213.
“Untuk CBCR diberi waktu lebih panjang, yakni paling lambat 12 bulan setelah akhir tahun pajak harus sudah tersedia. Dan selanjutnya dilaporkan sebagai lampiran SPT PPh Badan Tahun Pajak berikutnya,” jelasnya.
Baca Juga: Insentif Pajak Dunia Usaha Rp123 Triliun untuk Bertahan dari Covid-19
Direktur MUC Tax Research Institute Karsino mengatakan, awal penerapan—yang berlaku efektif mulai tahun pajak 2016—, kebijakan ini menjadi tantangan yang tak mudah untuk dihadapi WP badan. “Karena praktis hanya tersisa kurang dari tiga bulan bagi WP untuk menyiapkan master file dan local file, sedangkan untuk CBCR kurang dari sembilan bulan,” ujarnya.